Dibawah Bendera Revolusi
Judul: Dibawah Bendera Revolusi
Penulis: Ir. Sukarno
Kategori: Sejarah
Tahun Terbit: 1965
Bahasa: Indonesia
Harga: Rp 750.000,00 (satu set 2 jilid)
Status: NFS
Resensi:
Gugatan dari Kaleng Rombeng
BAGI Soekarno, kaleng rombeng berbau pesing adalah alat buang hajat
sekaligus sarana menuangkan pikiran. Di penjara Banceuy, Bandung, 1930,
tiap malam lelaki itu menjadikan kaleng itu sebagai meja sekaligus tadah
buang hajat. Jika pagi tiba, ketika ia diizinkan meninggalkan sel,
dibawanya kaleng itu ke kamar mandi untuk dibersihkan. Setelah itu,
dengan dilapisi beberapa lembar kertas, ia pakai lagi sebagai meja untuk
menulis.
Hampir setahun di Banceuy, berlembar-lembar tulisan lahir di atas kaleng
pesing itu. Salah satunya adalah pembelaan yang kemudian disebut
“Indonesia Menggugat”.
Dalam pleidoinya itu, Soekarno berbicara tentang penderitaan rakyat
setelah tiga setengah abad dihisap koloni Belanda. Ia juga berbicara
mengenai pendirian Partai Nasional Indonesia dan pergerakan yang
dipercayainya dapat membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan
imperialisme.
Bahasanya lugas, tapi nadanya menyala-nyala. Ketika membacanya dalam 19
kali persidangan di Jalan Landraad, Bandung, gedung itu sesak oleh
manusia. Naskah itu bahkan sempat diterbitkan dalam selusin bahasa di
dataran Eropa.
Soekarno ditahan setelah ditangkap di Yogyakarta, ketika akan mengikuti
pertemuan politik partainya di Solo. Hari itu, pagi 29 Desember 1929,
setengah lusin polisi Indonesia yang dipimpin inspektur Belanda
mencokoknya atas nama Sri Ratu. Ditahan semalam di penjara Mergangsan,
Yogyakarta, Soekarno dan dua kawannya dibawa ke Banceuy, bui
Bandung-penjara tingkat rendah, kotor, dan berbau.
Divonis empat tahun penjara, Soekarno dibebaskan pada 31 Desember 1931.
Gubernur Jenderal De Graeff saat itu agaknya tak tahan atas kritik pedas
terhadap putusan membui Soekarno. Tapi tiga tahun kemudian Soekarno
ditangkap lagi dan diasingkan ke Ende dan Bengkulu.
l l lBANDUNG
adalah tempat Soekarno muda membuat sejarahnya. Semula, ia hanya
berniat kuliah di Bandoeng Technische Hoogeschool-sekarang Institut
Teknologi Bandung-mengambil jurusan arsitektur. Tapi pergulatan batin
dan pertemuannya dengan para tokoh di kota itu membuat Soekarno, setelah
lulus pada 1926, berbelok ke jalur politik. Sebelumnya ia pernah
mendirikan biro konsultan meski mandek karena tak ia urus.
Saat itu Soekarno sudah mendirikan Algemeene Studie Club di Bandung.
Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasionalis Indonesia (PNI),
yang didirikannya bersama Mr Iskak, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, Mr
Boediardjo, dan Mr Soenarjo, pada 1927.
Kegiatan klub itu adalah mendiskusikan bacaan, terutama buku-buku
“babon” berbahasa Belanda yang dipinjam dari perpustakaan. Bergantian
mereka membacanya lalu berdiskusi dan membuat tulisan.
Saat itu usia Soekarno baru 25 tahun. Ketika kawan-kawan seusianya sibuk
bertemu kekasih, Soekarno memilih tenggelam dalam Das Kapital. “Aku
ingin menyelam, menyelam dalam dan lebih dalam lagi,” katanya dalam buku
otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia. Klub ini lalu kebanjiran peminat dan tumbuh menjamur
di berbagai kota. Belakangan Soekarno dan kawan-kawan pada 1926
menerbitkan majalah Suluh Indonesia sebagai sarana mensosialisasikan
pikiran mereka.
Artikel pertama ditulis oleh Soekarno sendiri. Judulnya, Nasionalisme,
Islamisme dan Marxisme. Isinya tentang konflik antara Serikat Islam
Putih pimpinan Agus Salim dan Serikat Islam Merah (Sarekat Rakyat)
pimpinan Semaun dkk.
Soekarno melihat, pertikaian politik antarkelompok justru menghambat
perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. “Tetapi kita
yakin, bahwa dengan terang-benderang menunjukkan, kemauan kita menjadi
satu. Kita yakin, bahwa pemimpin Indonesia semuanya insaf, persatuanlah
yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan,” demikian Soekarno
menulis.
Sikap politik Soekarno muda terbangun di rumah pendiri Syarikat Islam, H.O.S. Tjokroaminoto-kawan karib ayah Karno di Surabaya.
Soekarno muda dititipkan di rumah tokoh pergerakan Islam itu, ketika
saat masuk Hoogere Burger School (HBS). Di rumah inilah ia dapat
berkenalan dengan tokoh Pergerakan Nasional seperti Wahidin
Soedirohusodo dan Soetomo. Juga para tokoh Islam seperti Agoes Salim,
Abdoel Moeis, Ahmad Dahlan, Hasjim Asj’ari, dan A. Hassan, seorang tokoh
Persis Bandung yang belakangan menjadi kawan korespondensinya yang
termasyhur.
Di rumah Tjokro pula, Soekarno berkenalan dengan tokoh dari Marxisme dan
sosialisme, seperti Alimin, Semaun Darsono, dan Tan Malaka. Tiga
terakhir awalnya adalah pengurus Sarekat Islam kemudian memisahkan diri
untuk bergabung dengan kelompok Marxis. Mereka selanjutnya mendirikan
Partai Komunis Indonesia pada 1920, sementara Soekarno dan kawan-kawan
mendirikan Partai Nasionalis Indonesia di Bandung, 1927.
Pada lahirnya Partai Nasionalis Indonesia, Soekarno mencanangkan tahun
itu sebagai tahun propaganda politik. Ia tak hanya turun ke daerah,
menggalang dukungan, tapi juga menerbitkan majalah Persatuan Indonesia
pada 1928 sebagai ajang propanda. Majalah Fikiran Rakjat diterbitkan
pada 1932 ketika Partai Nasionalis Indonesia pecah menjadi Partindo.
l l lPENJARA,
pengasingan di Ende dan Bengkulu, adalah tempat Soekarno lebih
merenungi soal Islam. Penjara Sukamiskin, misalnya, melarang buku
politik dan surat kabar masuk ke sel Soekarno. Sepanjang masa di penjara
itu, satu-satunya hiburan Soekarno adalah belajar tentang agama dan
menulis.
Penjara sesungguhnya memang di Ende, kampung nelayan di Flores, Nusa
Tenggara Timur. Empat tahun lamanya, ia menjalani politik pengasingan
akibat aktivitas politik nonkoperasi melalui Partindo.
Di pulau itulah, Soekarno menghabiskan waktu dengan membaca buku Islam.
Renungan-renungannya tentang Islam muncul dalam suasana intens, terutama
surat-menyurat pribadi yang dikirimkannya kepada A. Hassan. Surat-surat
itu kelak masyhur disebut sebagai “Surat-surat dari Ende”.
Pernah Soekarno menulis soal tabir atau hijab yang memisahkan perempuan
dan laki-laki. Ia juga dengan cemerlang menulis tentang donor darah.
Juga menjawab tudingan bahwa ia anggota Ahmadiyah.
Yang menarik, meski tak meyakini Ahmadiyah, ia tak menyinggung
perlu-tidaknya Ahmadiyah hidup di bumi Indonesia. Tidak juga menuduhnya
aliran sesat. Juga tidak merasa Islam yang dianutnya yang paling benar.
Di Ende dan Bengkulu, selain surat-suratnya ke A. Hassan dan artikelnya
yang termashyur di Panji Islam, Soekarno meninggalkan ratusan karya
tulis dan beberapa naskah drama. Beberapa di antaranya dipentaskan
selama ia berada di Ende. Namun “temuan” penting sesungguhnya adalah
konsepsinya yang kelak dinamai Pancasila.
l l lDARI
seluruh masa Soekarno muda, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Asvi Warman Adam, menilai periode 1926-1930 adalah puncak
kreativitas pemikiran Soekarno akan nasionalisme dan sikap kerasnya
menentang kolonialisme. Juga kegandrungannya pada persatuan. Karakter
Soekarno sebagai pemersatu dan aktivis anti-imperialis yang militan
terlihat jelas di era ini. Begitu pula era sesudahnya hingga menjelang
kemerdekaan, 1945. “Selama masa itulah, kita dengan mudah mengenal siapa
sesungguhnya Soekarno,” kata Eros Djarot, salah seorang politikus
nasionalis.
Boleh jadi, karena itu pula, Di Bawah Bendera Revolusi jilid I menjadi
karya Soekarno yang paling populer. Buku ini diterbitkan pertama kali
oleh sebuah panitia penerbitan resmi dari Departemen Penerangan yang
dipimpin Mualiff Nasution, 17 Agustus 1959. Tebal 650 halaman, berisi 61
tulisan Soekarno antara 1926 dan 1941.
Menurut Asvi, butuh lima tahun bagi panitia itu untuk bekerja
mengumpulkan tulisan yang tersebar di mana-mana. Semuanya masih dalam
ejaan lama. Kabarnya, Soekarno sendiri yang membubuhkan judul, Di Bawah
Bendera Revolusi. Soekarno pula yang menggandeng Tjio Wie Tjay alias
Haji Masagung, pengusaha Toko Buku Gunung Agung, sebagai penerbit dan
penyalur.
Pada 1963, buku monumental ini dicetak ulang. Hanya dalam waktu dua
minggu edisi pertama terjual habis. Pada 1965, buku itu dicetak yang
keempat kalinya. Dan pada 2005, penerbitan buku itu dilakukan anak-anak
Soekarno melalui Yayasan Bung Karno.
Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia era 1960 di Bandung,
Siswono Yudohusodo dan Suko Sudarso, mengakui buku itu menjadi buku
bacaan wajib bagi anak-anak muda masa itu. Suko mengaku mengagumi buku
itu karena pemikiran Soekarno yang jauh ke depan.
Suko menyebut tulisan yang digandrunginya dalam buku itu adalah artikel
Soekarno di Suluh Indonesia, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”.
Tulisan ini sempat diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan diterbitkan
Universitas Cornell dengan pengantar Ruth Mcvey.