MANUSIA DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
oleh
Sudikno Mertokusumo
Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban tatanan di dalam
masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya ketenteraman dan keseimbangan
tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih populer disebut
"stabilitas nasional'. Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun
kelompok, karena selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan
perlindungan dan harus dilindungi. Kepentingan manusia akan terlindungi apabila
masyarakatnya tertib dan masyarakatnya akan tertib apabila terdapat
keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Setiap saat keseimbangan tatanan
dalam masyarakat dapat terganggu oleh bahaya-bahaya disekelilingnya.
Masyarakat berkepentingan bahwa keseimbangan yang terganggu itu dipulihkan
kembali. Salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan
tatanan di dalam masyarakat adalah penegakan hukum atau peradilan yang
bebas/mandiri, adil dan konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan peraturan
hukum yang ada dan dalam menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang
mandiri, yaitu pengadilan. Bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari
campur tangan pihak ekstra yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan
merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana. Kebebasan peradilan
merupakan dambaan setiap bangsa atau negara. Di mana- mana pada dasarnya
dikenal asas kebebasan peradilan, hanya isi atau nilai kebebasannya yang
berbeda. Isi atau nilai kebebasan peradilan di negara-negara Eropa Tirnur
dengan Amerika berbeda, isi dan nilai kebebasan peradilan di Belanda dengan di
Indonesia tidak sama, walaupun, semuanya mengenal asas kebebasan peradilan;
tidak ada negara yang rela dikatakan bahwa negaranya tidak mengenal kebebasan
peradilan atau tidak ada kebebasan peradilan di negaranya. Tidak ada bedanya
dengan pengertian hak asasi manusia, yang sekarang sedang banyak disoroti; hak
asasi bersifat universal, sernua negara "mengklaim"menghormati
hak-hak asasi manusia, tetapi nilai dan pelaksanaannya berbeda satu sama lain
(Masyhur Effendi 1994). Adil, tidak hanya bagi pencari keadilan saja tetapi
juga bagi masyarakat, tidak memihak, objektif, tidak a priori serta konsisten,
ajeg dalarn memutuskan, dalarn arti perkara yang sarna (serupa, sejenis) harus
diputus sarna (serupa, sejenis) pula. Tidak ada dua perkara yang sama. Setiap
perkara harus ditangani secara individual ("to each his own'), secara
kasuistis dengan mengingat bahwa motivasi, situasi, kondisi dan waktu
terjadinya tidak sama. Akan tetapi kalau ada dua perkara yang sejenis atau
serupa maka harus diputus sejenis atau serupa pula. Ini merupakan
"postulaat keadilan": perkara yang serupa diputus sama )Nieuwenhuis
dalam Themis, 1976/6. Kalau perkara yang serupa diputus berbeda maka akan
dipertanyakan: dimanakah kepastian hukumnya, apa yang lalu dapat dijadikan
pegangan bagi para pencari keadilan, dimana keadilannya?
Negara dan bangsa Indonesia pun menghendaki adanya tatanan masyarakat yang
tertib, tenteram, damai dan seimbang, sehingga setiap konflik, sengketa atau
pelanggaran diharapkan untuk dipecahkan atau diselesaikan: hukum harus
ditegakkan, setiap pelanggaran hukum harus secara konsisten ditindak, dikenai
sanksi. Kalau setiap pelanggaran hukum ditindak secara konsisten maka akan
timbul rasa aman dan damai, karena ada jaminan kepastian hukum. Untuk itu
diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan
hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan
oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan
putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah " eigenrichting"
(Sudikno Mertokusumo 1973).
Sekalipun peradilan Indonesia dewasa ini dasar hukumnya terdapat dalam UU no.14
tahun 1970 jo. pasal 24 dan 25 UUD namun pada hakekatnya merupakan warisan dari
zaman Hindia Belanda
Manusia dan Peradilan
A. Pengertian Keadilan
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam
tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara ke dua
ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstreni itu
menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan
dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harusmemperoleh
benda atau hasil yang sama. kalau tidak sama, maka masing-masing orang akan
menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelanggaran terhadap proporsi
tersebut berarti ketidak adilan.
Keadilan oleh
Plato diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang
yang mengendalikan diri, dan perasaannya dikendalikan oleh akal.
Lain lagi
pendapat Socrates yang memproyeksikan keadilan pada pemerintahan. Menurut
Socrates, keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak
pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Mengapa diproyeksikan pada
pemerintah, sebab pemerintah adalah pimpinan pokok yang menentukan dinamika
masyarakat.
Kong Hu Cu berpendapat lain : Keadilan terjadi apabila
anak sebagai anak, bila ayah sebagai ayah, bila raja sebagai raja,
masing-masing telah melaksanakan kewajibannya. Pendapat ini terbatas pada
nilai-nilai tertentu yang sudah diyakini atau disepakati.
Menurut
pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan
perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada
keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain,
keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya
dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama.
B. Keadilan Sosial
Dalam dokumen lahirnya Pancasila diusulkan oleh Bung Karno adanya prinsip kesejahteraan sebagai salah satu dasar negara.Selanjutnya prinsip itu dijelaskan sebagai prinsip “tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”. Dari usul da penjelasan itu nampak adanya pembaruan pengertian kesejahteraan dan keadilan. Bung Hatta dalam urainnya mengenai sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menulis sebagai berikut “keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adildan makmur”. Selanjutnya diuraikan bahwa pemimpin Indonesia yang menyusun UUD 1945 percaya bahwa cita – cita keadilan sosial dalam bidang ekonomi ialah dapat mencapai kemakmuran yang merata. Langkah – langkah menuju kemakmuran yang merata diuraikan secara terperinci
Panitia ad-hoc majelis permusyawaratan rakyat sementara 1966 memberikan perumusan sebagai berikut :
“ Sila keadilan sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia akan mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi, dan kebudayaan”.
Dalam ketetapan MPR RI No.II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (ekaprasetia pancakarsa) dicantumkan ketentuan sebagai berikut :
“Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia”.
• Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial itu, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk, yakni :
1. Perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2. Sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
3. Sikap suka bekerja keras
4. Sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan.
5. Sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Dalam dokumen lahirnya Pancasila diusulkan oleh Bung Karno adanya prinsip kesejahteraan sebagai salah satu dasar negara.Selanjutnya prinsip itu dijelaskan sebagai prinsip “tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”. Dari usul da penjelasan itu nampak adanya pembaruan pengertian kesejahteraan dan keadilan. Bung Hatta dalam urainnya mengenai sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menulis sebagai berikut “keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adildan makmur”. Selanjutnya diuraikan bahwa pemimpin Indonesia yang menyusun UUD 1945 percaya bahwa cita – cita keadilan sosial dalam bidang ekonomi ialah dapat mencapai kemakmuran yang merata. Langkah – langkah menuju kemakmuran yang merata diuraikan secara terperinci
Panitia ad-hoc majelis permusyawaratan rakyat sementara 1966 memberikan perumusan sebagai berikut :
“ Sila keadilan sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia akan mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi, dan kebudayaan”.
Dalam ketetapan MPR RI No.II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (ekaprasetia pancakarsa) dicantumkan ketentuan sebagai berikut :
“Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia”.
• Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial itu, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk, yakni :
1. Perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2. Sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
3. Sikap suka bekerja keras
4. Sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan.
5. Sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Sumber gambar : http://2.bp.blogspot.com